Begitu berkali-kali dan setiap ada korban tewas, mesti keluarganya bilang kalau punya utang dengan kakaknya dan belum membayar sampai batas waktunya. “Ah, ini mesti perbuatan kakak yang tidak kapok-kapok padahal hartanya sudah melimpah,” demikian pikir Atik Sundari.
Gawang-gawang masih terngiang ketika kedua orang tuanya mau wafat, selain mewariskan sebidang tanah berikut bangunan rumah yang besar ternyata orang tuanya itu juga punya ‘lemek’ kalau menurut orang Jawa namanya pesugihan.
“Ndhuk dan kamu Bonar, bapak hanya bisa mewarisi rumah dan tanah sedikit. Bagilah rata dan adil, jangan rebutan. Namun bapak juga punya ingon-ingon banyak angkrem yang bisa membantu kamu dalam mencari rezeki, semoga kamu bisa momong” demikian ucapnya ketika itu.
Tentang tanah dan bangunan rumah telah dibagi dua sama-sama setuju, namun mengenai ‘ingon-ingon’ banyak angkrem sebetulnya Atik Sundari agak keberatan. Sebagai pemeluk agama yang taat hati kecilnya tidak sampai kalau harus mengor bankan orang lain demi kepentingan kekayaan sendiri, atau numpuk harta. Maka ketika orang tua menyinggung masalah ‘pesugihan’ banyak angkrem Atik Sundari menolak dengan halus, biar kakaknya mas Bonar yang mengurus.
Maka dalam kehidupan sehari-hari, Atik Sundari sekeluarga biasa-biasa saja sedangkan kakaknya Bonar disamping warisan orang tua sudah kaya kini semakin kaya lagi. Kehidupannya serba mewah, rumah besar mobil ada dua masih kincling semua keluaran tahun mutahir. Tetapi kakak beradik itu tetap tinggal berdampingan, sebelah kiri kakaknya dan Atik Sundari sebelah kanan. Mereka rukun satu sama lain anak-anaknya pun bermain bersama, tidak pernah congkrah atau saling bermusuhan.
Yang merisaukan Atik Sundari adanya kematian warga kampung yang
misterius dan berturut-turut, dengan luka hitam bengkak-bengkak sekujur
tubuhnya rojah-rajeh mengenaskan. Dilain pihak kekayaan kakaknya semakin
membengkak, sugih mblegendhu. Maka setelah sembahyang Maghrib Atik
Sundari menemui kakaknya yang baru saja pulang dari toko, mengutarakan
maksudnya. “Mas Bonar, apakah tega melihat warga menjadi korban akibat
‘pesugihan’ banyak angkrem?” katanya langsung pada persoalan. “Sudahlah
dik, ini urusan kakak. Kamu tidak usah ikut-ikutan yang penting hidup
kamu berkecukupan,” jawab kakaknya kalem. “Mas, kita hidup ini kan butuh
bermasarakat juga, kalau kita banyak merugikan orang-orang yang tidak
berdosa bagaimana mempertanggung jawabkan besok di akirat,” ungkap Atik
Sundari. “Pokoknya ini semua tanggungjawab saya, yang penting harta kita
berlimpah hidup kita cukup tambah disegani,” kata Bonar tegas. “Tidak
Mas, saya berani menentang kelakuan jahat, karena ingat besuk semua
perbuatan kita didunia pasti diadili oleh Tuhan YME. Mulai detik ini
saya anggap kamu bukan kakakku lagi, kalau masih tega berbuat jahat,”
kata Atik Sundari sembari berdiri meninggalkan ruang tamu kakaknya.
Mendapat tantangan dari adiknya, Bonar bukannya sadar tetapi malah berbuat lebih jahat lagi. Paginya, ketika anaknya Atik Sundari sedang bermain-main dihalaman rumah mendadak pulang sambil menjerit-jerit ketakutan, jangan...jangan...saya takut saya tidak bersalah. Matanya mendelik seperti melihat barang yang menakutkan, katanya ia diuber-uber oleh binatang seperti itik warnanya putih mulus agak besar dan gulunya panjang. “Pasti banyak angkrem, kenapa kakakku tega kepada keponakan sendiri?” gumam Atik Sundari getem-getem. Setelah konsultasi dengan kiai Nur Saleh (bukan nama sebenarnya) Atik Sundari mulai mengadakan perlawanan terhadap ‘pesugihan’ kakaknya, ia tahu persis kalau setiap malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon banyak angkrem itu harus diberi sesaji. Maka keberadaannya harus mendekam di pekarangan seperti sedang mengerami telur-telurnya agar bisa menetas dengan baik, saat itulah yang tepat untuk memusnahkan makhluk gaib itu sebab kalau tidak atau sedang berkeliaran galaknya bukan main.
Maka dibacanya ayat-ayat suci Alquran sambil berdoa kepada Tuhan YME agar dijauhkan dari marabahaya, terutama perbuatan setan yang menyesatkan. Tiba-tiba seperti ada guntur meledak didalam rumah, dhar.....tahu-tahu sosok tubuh kakaknya terbanting jatuh dilantai sambat-sambat : “ Aduh...aduh sakit, jangan bunuh aku....tolong...kapok”. Paginya tersebar keseluruh kampung bahwa juragan Bonar meninggal dunia mendadak tanpa sakit lebih dulu, sekujur badan nya penuh luka arang kranjang seperti dipatuk binantang buas lebam hitam. Juga matanya mendolo menahan rasa takut, yang mengherankan ranjang tempat tidurnya bosah-baseh seperti habis untuk bertelur binatang itik tetapi tidak jadi dan bau busuk sangat menyengat.
Sampai jenazah dikuburkan, tidak ada yang tahu kecuali Atik Sundari, adiknya. “Semoga diampuni dosamu mas Bonar, saya terpaksa mengusir ‘banyak angkrem’ dari rumah ini jangan sampai membuat bencana di masyarakat,” demikian batinnya, konon pesugihan ‘banyak angkrem’ merasa diusir dari rumah membuat marah dan buntutnya ‘tuannya’ sendiri yang dilalap.
sumber | digali.blogspot.com
Mendapat tantangan dari adiknya, Bonar bukannya sadar tetapi malah berbuat lebih jahat lagi. Paginya, ketika anaknya Atik Sundari sedang bermain-main dihalaman rumah mendadak pulang sambil menjerit-jerit ketakutan, jangan...jangan...saya takut saya tidak bersalah. Matanya mendelik seperti melihat barang yang menakutkan, katanya ia diuber-uber oleh binatang seperti itik warnanya putih mulus agak besar dan gulunya panjang. “Pasti banyak angkrem, kenapa kakakku tega kepada keponakan sendiri?” gumam Atik Sundari getem-getem. Setelah konsultasi dengan kiai Nur Saleh (bukan nama sebenarnya) Atik Sundari mulai mengadakan perlawanan terhadap ‘pesugihan’ kakaknya, ia tahu persis kalau setiap malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon banyak angkrem itu harus diberi sesaji. Maka keberadaannya harus mendekam di pekarangan seperti sedang mengerami telur-telurnya agar bisa menetas dengan baik, saat itulah yang tepat untuk memusnahkan makhluk gaib itu sebab kalau tidak atau sedang berkeliaran galaknya bukan main.
Maka dibacanya ayat-ayat suci Alquran sambil berdoa kepada Tuhan YME agar dijauhkan dari marabahaya, terutama perbuatan setan yang menyesatkan. Tiba-tiba seperti ada guntur meledak didalam rumah, dhar.....tahu-tahu sosok tubuh kakaknya terbanting jatuh dilantai sambat-sambat : “ Aduh...aduh sakit, jangan bunuh aku....tolong...kapok”. Paginya tersebar keseluruh kampung bahwa juragan Bonar meninggal dunia mendadak tanpa sakit lebih dulu, sekujur badan nya penuh luka arang kranjang seperti dipatuk binantang buas lebam hitam. Juga matanya mendolo menahan rasa takut, yang mengherankan ranjang tempat tidurnya bosah-baseh seperti habis untuk bertelur binatang itik tetapi tidak jadi dan bau busuk sangat menyengat.
Sampai jenazah dikuburkan, tidak ada yang tahu kecuali Atik Sundari, adiknya. “Semoga diampuni dosamu mas Bonar, saya terpaksa mengusir ‘banyak angkrem’ dari rumah ini jangan sampai membuat bencana di masyarakat,” demikian batinnya, konon pesugihan ‘banyak angkrem’ merasa diusir dari rumah membuat marah dan buntutnya ‘tuannya’ sendiri yang dilalap.
sumber | digali.blogspot.com