Entah siapa yang memulai menuliskan kisah pahlawan-pahlawan antagonistik, profil jagoan yang dibenci sekaligus dipuja. Bagi Anda yang besar dengan kepiawaian aktor kawakan Kevin Costner, dalam satu kurun waktu pasti pernah bersinggungan dengan Robin Hood, salah satu karakter yang ia perankan. Robin Hood adalah pahlawan bagi mereka yang miskin dan musuh bagi si kaya dan pemerintah yang lalim. Robin Hood adalah contoh sempurna seorang pahlawan tetapi secara bersamaan juga musuh bebuyutan.
Dalam dunia nyata, karakter semacam Robin Hood akan sangat susah ditemukan. Si miskin perlu berjuang untuk dirinya sendiri, sebab si kaya sibuk menghitung harta. Akan tetapi, ada satu kisah keteladanan yang mirip, sekalipun harta yang dicuri bukan emas berlian atau sejumlah surat-surat saham. Barang yang dicuri ini pun tergolong istimewa bahkan menyangkut hajat hidup orang banyak sedunia. Sudah tentu barang curiannya sangat bernilai. Tak lain adalah data!
Untuk urusan pencurian data, mungkin cuma dua orang yang pantas disebut orang paling berbahaya sedunia. Mereka adalah Julian Assange dan Edward Joseph Snowden. Keduanya secara bersama-sama membocorkan data paling vital bagi rahasia keamanan Negara paling kuat sedunia, The United States of America. Assange, founder wikileaks, terlebih dulu mempublikasikan kawat-kawat rahasia dari sejumlah dokumen penting Amerika Serikat termasuk dari seorang prajurit analis intelejen yang pernah terlibat dalam perang Irak, Bradley Manning (kini telah berganti nama dan gender menjadi Chelsea Manning).
Dari tangan Manning, wikileaks memanen data berjumlah puluhan ribu dokumen dalam kategori classified. Jelas, data ini adalah data teramat penting yang tidak boleh bocor ke dunia luar. Termasuk data yang bocor adalah pembunuhan masyarakat sipil tak bersenjata dan dua wartawan Reuter oleh kru pesawat helikopter Apache, catatan harian perang Afghanistan menyangkut jumlah korban sipil, catatan perang irak dan kawat diplomatik Amerika serikat (AS). Kesemua data yang dibocorkan ini membuat Assange diburu dan diinginkan AS untuk diadili, sementara Manning terancam dipenjara dengan hukuman 35 tahun.
Belum lagi kering kebocoran data yang dialami AS, salah seorang organ
dalam National security Agency (NSA), Edward Snowden, melakukan hal yang
sama. NSA adalah sebuah lembaga intelejen AS yang bertanggung jawab
memonitor, mengumpulkan, menerjemahkan, memecahkan kode data dan
informasi untuk tujuan intelejen maupun kontra-intelejen. Salah satu
dokumen Snowden bahkan menyerempet pula soal kegiatan mata-mata yang
dilakukan oleh Negara tetangga Australia terhadap 1,8 juta dokumen yang
didapat dari perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Bocoran Snowden
juga menyebutkan bahwa Australia ikut menyadap orang-orang penting di
pemerintahan Indonesia. Kabar tak sedap ini langsung mengubah peta
harmonis kawasan dan membuat presiden SBY beberapa waktu lalu sempat
berang.

Bagi saya kedua pahlawan ini adalah pahlawan antagonis. Bagi yang merasa privasi mereka dilanggar dan dibocorkan dengan sewenang-wenang, Assange dan Snowden adalah pahlawan sejati. Sedangkan bagi pihak AS, jelas kedua orang ini adalah kriminal. Di dalam negeri Snowden dipuja sebagai pembela hak digital. Bahkan pewarta Guardian, Glenn Greenwald, yang mengikuti jejak Snowden sampai ke Hongkong kemudian diganjar Pulitzer Prize. Dari hasil liputannya pula lah muncul buku No Place to Hide.

Yang mungkin tidak atau belum dipahami oleh masyarakat awam tentu saja bagaimana bisa data terenkripsi dengan baik atau bagaimana lalu lintas informasi yang begitu banyaknya bisa dicegat dan disadap. Untuk urusan ini NSA tidak bekerja sendirian. Melalui buku Snowden Files, misalnya, Snowden mengungkapkan bahwa NSA menggunakan database perusahaan informasi dan teknologi raksasa yang kebetulan hampir semuanya berkantor di AS, untuk menyedot data pengguna, mungkin secara ilegal. Sebab, belakangan bos-bos besar para raksasa IT itu beramai-ramai menolak bahwa mereka mengizinkan NSA melanggar privasi pengguna.

Dalam perang informasi dan data yang sedemikian sengit ini, sebagai pengguna kita tentu perlu bijak menggunakan akun dalam platform mana pun terutama layanan online gratis. Tak kurang dari pendiri World Wide Web (www) Sir Tim Berners-Lee mengajukan digital magna carta, sebuah piagam kebebasan yang menjamin HAM seperti netralitas jaringan, perlindungan terhadap pengawasan berlebihan dan kebebasan berekspresi di internet. Dalam sejarah Inggris Magna Carta atau piagam besar pertama kali digunakan oleh sekelompok tuan tanah terhadap Raja Inggris saat itu, King John, yang membatasi kekuasaannya dan keharusan sang raja untuk tunduk terhadap hukum dan konstitusi. Piagam ini disampaikan dan dikukuhkan di tepi sungai Thames pada 15 Juni 1215.

Kisah kedua biografi maling budiman ini, Julian Assange dan Edward Snowden, berjudul The Most Dangerous Man in The World dan No Place to Hide akan segera diterbitkan Bentang Pustaka. Bahkan Anda yang tidak mengerti dunia IT, perlu membaca dan mengenal hak-hak Anda di dunia internet. Saya teringat, seorang pendongeng asal Tiongkok, Khu Lung, yang pernah memopulerkan serial silat Pendekar Maling Romantis, Chu Liu Xiang, yang ketika kabur menyebar parfum sebagai jejaknya sebelum menghilang. Jejak digital Anda, sebaliknya, sangat kentara, mungkin juga kotor, dan dengan sangat mudah dibagi dengan pihak ketiga. Waspadalah!
sumber | digali.blogspot.com
Bagi saya kedua pahlawan ini adalah pahlawan antagonis. Bagi yang merasa privasi mereka dilanggar dan dibocorkan dengan sewenang-wenang, Assange dan Snowden adalah pahlawan sejati. Sedangkan bagi pihak AS, jelas kedua orang ini adalah kriminal. Di dalam negeri Snowden dipuja sebagai pembela hak digital. Bahkan pewarta Guardian, Glenn Greenwald, yang mengikuti jejak Snowden sampai ke Hongkong kemudian diganjar Pulitzer Prize. Dari hasil liputannya pula lah muncul buku No Place to Hide.

Yang mungkin tidak atau belum dipahami oleh masyarakat awam tentu saja bagaimana bisa data terenkripsi dengan baik atau bagaimana lalu lintas informasi yang begitu banyaknya bisa dicegat dan disadap. Untuk urusan ini NSA tidak bekerja sendirian. Melalui buku Snowden Files, misalnya, Snowden mengungkapkan bahwa NSA menggunakan database perusahaan informasi dan teknologi raksasa yang kebetulan hampir semuanya berkantor di AS, untuk menyedot data pengguna, mungkin secara ilegal. Sebab, belakangan bos-bos besar para raksasa IT itu beramai-ramai menolak bahwa mereka mengizinkan NSA melanggar privasi pengguna.
Dalam perang informasi dan data yang sedemikian sengit ini, sebagai pengguna kita tentu perlu bijak menggunakan akun dalam platform mana pun terutama layanan online gratis. Tak kurang dari pendiri World Wide Web (www) Sir Tim Berners-Lee mengajukan digital magna carta, sebuah piagam kebebasan yang menjamin HAM seperti netralitas jaringan, perlindungan terhadap pengawasan berlebihan dan kebebasan berekspresi di internet. Dalam sejarah Inggris Magna Carta atau piagam besar pertama kali digunakan oleh sekelompok tuan tanah terhadap Raja Inggris saat itu, King John, yang membatasi kekuasaannya dan keharusan sang raja untuk tunduk terhadap hukum dan konstitusi. Piagam ini disampaikan dan dikukuhkan di tepi sungai Thames pada 15 Juni 1215.
Kisah kedua biografi maling budiman ini, Julian Assange dan Edward Snowden, berjudul The Most Dangerous Man in The World dan No Place to Hide akan segera diterbitkan Bentang Pustaka. Bahkan Anda yang tidak mengerti dunia IT, perlu membaca dan mengenal hak-hak Anda di dunia internet. Saya teringat, seorang pendongeng asal Tiongkok, Khu Lung, yang pernah memopulerkan serial silat Pendekar Maling Romantis, Chu Liu Xiang, yang ketika kabur menyebar parfum sebagai jejaknya sebelum menghilang. Jejak digital Anda, sebaliknya, sangat kentara, mungkin juga kotor, dan dengan sangat mudah dibagi dengan pihak ketiga. Waspadalah!
sumber | digali.blogspot.com
No comments:
Post a Comment