Merdeka.com - Menteri Luar Negeri Federasi Papua Barat Jacob Rumbiak menyarankan Indonesia segera memberikan pengakuan terhadap kedaulatan Papua.
Dia beralasan cara ini jauh lebih baik ketimbang memakai referendum untuk mengetahui keinginan rakyat Papua. Apalagi jika tetap ngotot mempertahankan Papua dalam wilayah Indonesia. Korban bakal terus berjatuhan karena perlawanan tidak akan pernah berakhir.
Berikut penuturan Jacob Rumbiak saat dihubungi Faisal Assegaf dari merdeka.com melalui telepon selulernya Rabu lalu.
Papua tidak mungkin merdeka tanpa dukungan Amerika sebab di sana ada Freeport. Bagaimana sikap terakhir Amerika terhadap gerakan Papua merdeka?
Sebenarnya, itulah. Itu menyebabkan saya pikir Papua dengan Indonesia perlu bicara. Sebab Amerika menggunakan pemerintah Indonesia sebagai pengawalnya untuk melindungi kepentingan kapitalis. Indonesia hanya dapat berapa persen? Saya pikir 10 persen saja toh? Indonesia hanya dapat sedikit kan?
Papua dengan Indonesia akan kita atur baik, akan kita bagi lah. Kalau memang Freeport jadi tempat Amerika gunakan tangan Indonesia supaya kepentingannya jalan, itu kita sebaiknya atur saja supaya hasil dari Freeport bisa dinikmati oleh orang Indonesia dan orang Papua. Kita atur bagi hasil berapa persen.
Karena Papua bukan saja tembaga. Sebab di Papua tambang terbesar itu ada emas, minyak, gas, uranium ada di sana. Makanya itu saya sering berpikir hanya karena kepentingan kapitalisme saja kok membuat saudara saya dari Indonesia dengan Papua harus saling membunuh. Karena itu kan tidak bagus.
Kita harus berpikir sehat supaya tidak hanya kepentingan ekonomi. Kenapa Indonesia dan Papua tidak bicara baik-baik saja sehingga kita dapat lebih banyak sebab kita punya. Kalau Indonesia dan Papua bisa bekerja sama di mana kita kontrol seluruh ekonomi, kita akan menjadi tuan.
Kita akan menjadi pihak penentu di dunia. Kita akan kendalikan kapitalisme Amerika atau Barat. Saya pikir ini kita harus bicara sekarang.
Soal Papua dengan Amerika tadi Anda sebut, itu sangat tergantung dari Indonesia. Kalau Indonesia masih tetap melepaskan, membiarkan Amerika menjadi tuan terus mengontrol Freeport sehingga Papua terus ditimpa begitu. Indonesia pun sama, di bawah ketiak kapitalisme sampai kekayaan habis kemudian baru mereka lepas. Seperti di Afrika. Semua kekayaan di Afrika sudah habis, baru Inggris, Prancis, Portugis kasih kemerdekaan.
Memangnya berapa konsesi mau dikasih Papua lewat Freeport kalau Indonesia mau kasih kemerdekaan?
Jelas kita kasih, saya sendiri ada di situ. Saya akan lebih banyak berbicara dengan semua pemimpin. Artinya, pemerintah dan parlemen itu jelas memiliki standar pembagian untuk kedua negara. Kita bisa atur 40 persen (Indonesia) dan 60 persen (Papua) atau 52 persen (Papua) dan 48 persen (Indonesia).
Kenapa tidak? Kita akan bicara soal bagi hasil. Itu sudah jelas. Papua punya tanggung jawab moral untuk harus berbicara baik-baik sehingga kedua pihak sama-sama untung.
Jadi kemerdekaan itu bukan salah satu kalah, bukan salah satu menang, tapi bagaimana kita akan mendapat keuntungan sama. Tidak ada lebih, tidak ada kurang. Itu jelas kebijakan dari pembicaraan beberapa teman dalam pemerintahan federal lahir lewat kongres ketiga pada 2011.
Kami harap pemerintah baru bisa membuka satu ruang di mana kita bisa berbicara, ada hal-hal kita bisa bicara tertutup dan ada hal-hal kita bisa bicara terbuka. Indonesia dan Papua adalah korban perang dingin dan kita tidak bisa terus tinggal di dalam situasi diciptakan bangsa asing atau para kapitalis.
Mari kita bangkit untuk menyatakan kami mampu bangkit dan menyelesaikan persoalan selama ini dilihat sebagai masalah. Padahal masalah ini diciptakan oleh orang luar. Kemudian mereka membiarkan kami untuk saling berkelahi.
Kemudian mereka berbicara hanya basa-basi saja begini begitu. Sedangkan Indonesia tidak berani menyelesaikan masalah sebenarnya ditinggalkan dan diciptakan oleh orang lain.
Jadi kemerdekaan Papua ini tergantung Indonesia mau kasih atau tidak?
Sebenarnya saya melihat ada dua hal. Pertama, kalau dari pihak Indonesia bisa memberikan dengan baik, saya pikir tidak perlu ada perebutan kemerdekaan dengan darah dan pengorbanan cukup besar. Tapi jelas dari Papua sudah siap untuk melakukan apa saja.
aya pikir di era teknologi dan informasi ini lebih mempercepat. Karena orang Papua sekarang banyak sudah belajar. Peralatan perang itu sudah tidak sulit untuk orang Papua. Kapan saja kalau dia mau beli pesawat tempur terutama dijual di Tembagapura jadi gampang. Hanya kita tidak mau ada pertumpahan darah sia-sia.
Kami mau ada penghormatan kepada Indonesia daripada merampas. Situasi memaksa sehingga terpaksa Papua lepas saja begitu. Berarti kita punya hubungan Indonesia itu sama dengan air garam kita buang ke air laut. Padahal kita sudah punya hubungan baik semasa di bawah Indonesia.
Jadi kita tidak melihat Indonesia sebagai penjajah. Tapi kita akan luruskan sejarah, termasuk Indonesia baik, di mana buktinya Papua menjadi sebuah negara.
Tapi kalau kami merdeka karena dipaksa, nanti dari segi sejarah Indonesia dilihat sebagai penjajah. Jadi kami berusaha untuk mau bicara ini dengan Jakarta supaya nilai dan nama besar dari Indonesia itu tidak dilihat sebagai penjajah, tetapi bagaimana nanti dipersiapkan seperti negara-negara persemakmuran oleh Inggris.
Sekalipun mereka belum siap betul, tapi mereka bisa merdeka dan mengatur hal-hal lain menyangkut perdagangan, pendidikan, teknologi, dan lain-lain. Jadi dari teman-teman terutama teman-teman akademisi terlibat di dalam dapur strategis dan taktis, kami lebih banyak ingin supaya bagaimana peralihan itu dengan cara bermartabat.
Dengan demikian, di dalam sejarah Papua itu kami tidak menempatkan Indonesia sebagai penjajah di mana kami harus merebut kemerdekaan dari penjajah. Tapi kami melihat kehadiran Indonesia di Papua itu sebagai anugerah Tuhan, anugerah Allah untuk mempersiapkan Papua, untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Mengapa Anda masih yakin Papua merdeka padahal perjuangan bersenjatanya sangat kecil, perjuangan diplomasi tidak dapat dukungan dari internasional? Mengapa masih ngotot ingin merdeka?
Saya terlalu yakin karena pertama itu adanya inisiatif dan aktivitas nyata sekarang di dalam negeri, di Papua. Kalau melihat sebelum saya dipenjara tahun 1989, perjuangan Papua itu hanya orang di hutan, segelintir orang Papua di luar negeri hanya bicara saja.
Waktu itu saya punya inisiatif kalau orang Papua mau merdeka basis kekuatan rakyat itu harus dibangun lewat kaum terpelajar. Maka waktu itu dokter Thomas Huolay kembali dari Amerika Serikat dan dokter Ottomus Bakri. Kami bertiga berpikir kampus adalah tempat di mana dilahirkan kaum terpelajar untuk memimpin perjuangan sebab kita bukan berjuang di hutan.
Kami harus berjuang menghadapi keputusan perang dingin dulu terlibat menyerahkan kami ke Indonesia. Itu berarti harus kami kuasai bahasa Inggris, bahasa Spanyol, bahasa Perancis, bahasa Portugis untuk bisa memasuki posisi untuk tawar menawar di PBB. Tapi juga kami harus membangun basis perjuangan itu di semua wilayah Papua dan di luar negeri, dan itu berhasil.
Basis perjuangan kami bukan ahanya ada di tujuh wilayah adat. Kami punya basis gerakan pemuda, pelajar, mahasiswa di Jawa, Bali, Sulawesi. Kami juga punya basis pemuda, pelajar, mahasiswa di Amerika, Eropa, Australia, dan pasifik. Akan ada hasil. Jadi itu sekarang sudah ada.
Sekarang kami punya pendukung itu Senegal, kemudian Perancis secara diam-diam juga sedang mendorong. Tapi jelas itu salah satu negara anggota PBB itu sudah ada. Dan kami harap dengan adanya perbaikan organisasi politik Papua dalam tahun ini itu kami sudah bisa merapat, menjadi anggota penuh.
Jadi perjuangan Papua merdeka itu bukan karena perjuangan politik atau diplomatik atau militer kecil. Bagaimana kami harus membangun sebuah proses benar sehingga kami bisa raih. Selama ini kami tidak ada proses benar karena itu baru terjadi pada 2011. Karena secara tata negara, untuk ketatanegaraan, kongres III itu memenuhi syarat karena dia mendeklarasikan pemerintah. Kalau kongres II itu tidak, tahun 1971 itu mereka deklarasi pemerintahan di hutan dan pemberitaannya juga di luar negeri, bagaimana mau melobi Jakarta.
http://www.merdeka.com/khas/kami-ing...rumbiak-2.html
Sebenarnya saya melihat ada dua hal. Pertama, kalau dari pihak Indonesia bisa memberikan dengan baik, saya pikir tidak perlu ada perebutan kemerdekaan dengan darah dan pengorbanan cukup besar. Tapi jelas dari Papua sudah siap untuk melakukan apa saja.
aya pikir di era teknologi dan informasi ini lebih mempercepat. Karena orang Papua sekarang banyak sudah belajar. Peralatan perang itu sudah tidak sulit untuk orang Papua. Kapan saja kalau dia mau beli pesawat tempur terutama dijual di Tembagapura jadi gampang. Hanya kita tidak mau ada pertumpahan darah sia-sia.
Kami mau ada penghormatan kepada Indonesia daripada merampas. Situasi memaksa sehingga terpaksa Papua lepas saja begitu. Berarti kita punya hubungan Indonesia itu sama dengan air garam kita buang ke air laut. Padahal kita sudah punya hubungan baik semasa di bawah Indonesia.
Jadi kita tidak melihat Indonesia sebagai penjajah. Tapi kita akan luruskan sejarah, termasuk Indonesia baik, di mana buktinya Papua menjadi sebuah negara.
Tapi kalau kami merdeka karena dipaksa, nanti dari segi sejarah Indonesia dilihat sebagai penjajah. Jadi kami berusaha untuk mau bicara ini dengan Jakarta supaya nilai dan nama besar dari Indonesia itu tidak dilihat sebagai penjajah, tetapi bagaimana nanti dipersiapkan seperti negara-negara persemakmuran oleh Inggris.
Sekalipun mereka belum siap betul, tapi mereka bisa merdeka dan mengatur hal-hal lain menyangkut perdagangan, pendidikan, teknologi, dan lain-lain. Jadi dari teman-teman terutama teman-teman akademisi terlibat di dalam dapur strategis dan taktis, kami lebih banyak ingin supaya bagaimana peralihan itu dengan cara bermartabat.
Dengan demikian, di dalam sejarah Papua itu kami tidak menempatkan Indonesia sebagai penjajah di mana kami harus merebut kemerdekaan dari penjajah. Tapi kami melihat kehadiran Indonesia di Papua itu sebagai anugerah Tuhan, anugerah Allah untuk mempersiapkan Papua, untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Mengapa Anda masih yakin Papua merdeka padahal perjuangan bersenjatanya sangat kecil, perjuangan diplomasi tidak dapat dukungan dari internasional? Mengapa masih ngotot ingin merdeka?
Saya terlalu yakin karena pertama itu adanya inisiatif dan aktivitas nyata sekarang di dalam negeri, di Papua. Kalau melihat sebelum saya dipenjara tahun 1989, perjuangan Papua itu hanya orang di hutan, segelintir orang Papua di luar negeri hanya bicara saja.
Waktu itu saya punya inisiatif kalau orang Papua mau merdeka basis kekuatan rakyat itu harus dibangun lewat kaum terpelajar. Maka waktu itu dokter Thomas Huolay kembali dari Amerika Serikat dan dokter Ottomus Bakri. Kami bertiga berpikir kampus adalah tempat di mana dilahirkan kaum terpelajar untuk memimpin perjuangan sebab kita bukan berjuang di hutan.
Kami harus berjuang menghadapi keputusan perang dingin dulu terlibat menyerahkan kami ke Indonesia. Itu berarti harus kami kuasai bahasa Inggris, bahasa Spanyol, bahasa Perancis, bahasa Portugis untuk bisa memasuki posisi untuk tawar menawar di PBB. Tapi juga kami harus membangun basis perjuangan itu di semua wilayah Papua dan di luar negeri, dan itu berhasil.
Basis perjuangan kami bukan ahanya ada di tujuh wilayah adat. Kami punya basis gerakan pemuda, pelajar, mahasiswa di Jawa, Bali, Sulawesi. Kami juga punya basis pemuda, pelajar, mahasiswa di Amerika, Eropa, Australia, dan pasifik. Akan ada hasil. Jadi itu sekarang sudah ada.
Sekarang kami punya pendukung itu Senegal, kemudian Perancis secara diam-diam juga sedang mendorong. Tapi jelas itu salah satu negara anggota PBB itu sudah ada. Dan kami harap dengan adanya perbaikan organisasi politik Papua dalam tahun ini itu kami sudah bisa merapat, menjadi anggota penuh.
Jadi perjuangan Papua merdeka itu bukan karena perjuangan politik atau diplomatik atau militer kecil. Bagaimana kami harus membangun sebuah proses benar sehingga kami bisa raih. Selama ini kami tidak ada proses benar karena itu baru terjadi pada 2011. Karena secara tata negara, untuk ketatanegaraan, kongres III itu memenuhi syarat karena dia mendeklarasikan pemerintah. Kalau kongres II itu tidak, tahun 1971 itu mereka deklarasi pemerintahan di hutan dan pemberitaannya juga di luar negeri, bagaimana mau melobi Jakarta.
http://www.merdeka.com/khas/kami-ing...rumbiak-2.html
No comments:
Post a Comment