Indonesia
sebagai negara rawan bencana, masyarakatnya potensi mengalami gangguan
kejiwaan. Untuk itu, masalah kesehatan jiwa pascabencana harus masuk
dalam sistem penanggulangan bencana nasional.
"Pada
setiap bencana, kasus depresi pada penduduk korban bencana selalu
meningkat tajam. Tanpa penanganan yang tepat, yang awalnya depresi
ringan bisa meningkat jadi gangguan jiwa berat," kata dr Tun Kurniasih
Bastaman, Sp KJ, Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesial
Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) di Jakarta. PDSKJII bekerjasama dengan World Psychiatric Association
(WPA) akan menggelar konferensi internasional tentang kesehatan jiwa
pascabencana di Bali pada 13-15 September mendatang. Kegiatan itu akan
diikuti 700 psikiater dari 36 negara di dunia. Dr Tun menambahkan, saat
ini jumlah penderita gangguan kejiwaan di Indonesia cukup tinggi.
Kondisinya dari yang paling ringan hingga berat. Jumlahnya diperkirakan
mencapai 19 juta jiwa.
"Sebagian
dari jumlah penderita gangguan kejiwaan itu adalah penduduk korban
bencana, baik karena alam atau ulah manusia. Sebagian yang lain adalah
akibat depresi masalah ekonomi, keluarga hingga masalah sosial,"
ucapnya. Indonesia
menjadi tuan rumah pertemuan, menurut Tun, karena dinilai memiliki
pengalaman dengan situasi bencana. "Kendati demikian, forum ini menjadi ajang bagi pengalaman bagaimana menangani masalah kejiwaan pascabencana," ucapnya menegaskan. Hal
senada dikemukakan dr Albert Maramis, SpKJ, ahli kesehatan jiwa dari RS
Cipto Mangunkusumo. Meski Indonesia kerap rutin terjadi bencana, namun
belum terlihat ada mekanisme bencana yang sesuai standar. "Pemerintah
selama ini kebanyakan bersikap reaktif bukan proaktif. Artinya ribut
kalau sudah terjadi bencana, tapi tidak memikirkan bagaimana caranya
supaya terhindar dari bencana," katanya. Hasil
pengamatannya selama menangani korban kejiwaan bencana Tsunami di Aceh,
Albert menyatakan rata-rata orang yang mengalami gangguan jiwa ringan
dalam sebuah komunitas sekitar 2-3 persen.
Namun pascabencana terjadi umumnya penderita kejiwaan melonjak hingga di atas 50 persen."Dalam setiap bencana selalu menimbulkan rasa stres, trauma,
dan depresi. Individu yang sejatinya sudah mengidap bakat gangguan jiwa
ringan, bakal memburuk kondisinya hingga gangguan jiwa berat,"
tuturnya. Sayangnya lanjut Albert, mekanisme penganganan kesehatan jiwa
dalam penanggulangan bencana di Indonesia masih belum jelas. Dia
mencontohkan belum ada standar operasi tetap penerapan kesehatan jiwa
pada daerah yang baru dilanda bencana. "Belum jelas dalam sistem, apakah
penanganan kesehatan jiwa masuk pada saat masa tanggap darurat atau
rehabilitasi," ujarrnya.
Padahal,
lanjut dr Albert Maramis, idealnya agar depresi tidak bertambah berat,
pemberian pelayanan seyogianya dilakukan sedini mungkin dan tidak perlu
dibatasi hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi berakhir.
sumber | digali.blogspot.com