Gille Bro...di Jakarta Harga Tanah ada yang Rp 150 Juta per meter

icon18_edit_allbkg

KOTA Jakarta memang serba wah. Coba aja tengok di sekeliling kita. Apa aja ada di Jakarta. Mulai dari harga mobil paling mewah, apartemen paling mewah, sampai harga tanah paling wah. Maksudnya, begitu dengar harganya cuma bisa berdecak ‘wah…wah…wah…’

sudirman-jakarta_1


“Jangan salah mas, di kawasan Jl Jenderal Sudirman, harga tanah ada yang pasang Rp 150 juta per meter,” kata seorang direktur utama yang bergerak di bidang properti saat berbincang dengan saya di Jakarta, baru-baru ini.

Tuh kan. Kalau dipikir-pikir, harga satu meternya sudah bisa beli 10 sepeda motor bebek. Kebayangkan, harga semeter tanah sudah bisa beli berapa liter beras tuh. Ehem!

Saat buka-buka arsip, ternyata harga tanah di kawasan yang sama pada sepuluh tahun lalu, atau persisnya tahun 2005, masih berkisar Rp 15-30 juta per meter persegi. Artinya, jika memakai harga yang terendah, yakni Rp 15 juta per meter persegi, harga tanah di kawasan Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat melonjak 900% dalam rentang sepuluh tahun. Dahsyat!!!

“Harga tanah di Jakarta sudah terlalu mahal,” kata sang direktur utama tadi.

Sedangkan direktur yang lainnya bercerita, bahwa harga tanah di titik-titik strategis lainnya di Jakarta juga sudah melambung tinggi. Sebut saja misalnya di di Cempaka Putih, Jakarta Pusat menyentuh hingga Rp 20-an juta per meter persegi. Lalu, di kawasan Kemang berkisar Rp 35-40 juta per meter persegi. Mahal banget yah?
Nah, sang dirut perusahaan properti itu bilang, dampak dari menipisnya cadangan lahan dan menggilanya harga tanah, mau tidak mau, mereka membangun kawasan superblok. Maksudnya, sebuah kawasan yang dijejali dengan beragam fasilitas. Mulai dari tempat tinggal vertikal, perkantoran, mal, hingga pusat hiburan. Pokoknya, di satu area palu gada, apa yang lu minta, pasti ada. Begitu kata anak-anak muda zaman sekarang.

Jangan heran, kalau harga yang ditawarkan juga bakal setinggi langit. Untuk apartemen bisa berkisar Rp 25-30 juta per meter persegi dan untuk perkantoran bisa lebih mahal lagi. Buntutnya?

Gampang ditebak, yang berkocek cekak susah nyari hunian di tengah kota. Mereka pun lari ke pinggiran kota, bahkan ke kawasan yang menempel di Jakarta, misalnya, Bekasi, Depok, atau Tangerang. Tapi, bekerjanya justeru di tengah kota Jakarta atau di dalam kota Jakarta.

Tak heran jika ada pernyataan, penduduk Jakarta saat malam hari sebanyak 9,5 juta, namun saat siang hari menjadi 12 juta jiwa. Maksudnya, saat pagi hingga sore hari Jakarta disesaki para urban, yakni mereka yang bertinggal di pinggir atau luar kota Jakarta.

Bagi orang-orang seperti saya yang tinggal di pinggiran Jakarta pilihan untuk bermobilitas pilihannya adalah angkutan umum seperti angkot dan bus mini, atau Trans Jakarta. Atau, naik kendaraan sepeda motor pribadi. Bila banyak dari warga yang menjatuhkan pilihannya pada sepeda motor, hal itu tak bisa dipungkiri. Sepeda motor dianggap mangkus dan sangkil dibandingkan angkutan umum.

Seorang kolega bilang, rasanya tak sepadan mereka yang berpenghasilan pas-pasan tinggal di pinggir atau luar kota, lalu mengais nafkah di tengah kota. Mereka bergumul dengan kemacetan lalu lintas jalan dan menempuh perjalanan satu hingga dua jam, belum lagi biaya bahan bakar dan biaya sosial sepanjang perjalanan. Tak heran jika kemudian ada jargon, pergi pagi, pulang petang, penghasilan pas-pasan. Sampai kapan? (edo rusyanto)







No comments:

Post a Comment



backtotop