Pernah denger peradilan Indonesia gak gan?
Berikut ini ane mau menjabarkan 10 masalah peradilan indonesia versi Bagir Manan, gan. cekidot yeee
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menginventarisasi sepuluh masalah yang dihadapi oleh peradilan di Indonesia dan masalah-masalah itu harus dipecahkan bersama, gan apa aja masalahnya? berikut gan :
Spoiler for Pertama:
Pertama,
lack of proporsionalism (kurangnya proporsionalitas). Bagir menuturkan
kekurangan proporsionalitas ini menyangkut penguasaan pengetahuan hukum
(dalam arti seluas-luasnya), keterampilan hukum, integritas, dan etika.
“Ini sangat berpengaruh pada mutu putusan,” ujarnya dalam sebuah seminar
di Jakarta, Kamis (22/5).
Spoiler for Kedua:
Kedua,
lack of social responsibility or awareness (kurangnya tanggung jawab
atau kepedulian sosial). Ia menuturkan bahwa kelemahan ini disadari atau
tidak disadari oleh para hakim. “Mohon maaf. Misalnya, kebiasaan
bermewah-mewah. Kita tak punya social awareness (kepedulian sosial)
masyarakat kita lagi susah,” tambahnya.
Spoiler for Ketiga:
Ketiga,
lack of dignity (kurangnya kewibawaan). Ia menjelaskan bahwa hakim
harus menyadari bahwa profesi yang disandangnya adalah jabatan yang
mulia. Keempat, masalah yang sering dihadapi adalah lack of carefulness
(kurangnya kehati-hatian). “Hakim kadang-kadang tidak hati-hati,”
ujarnya.
Spoiler for Keempat:
Lebih
lanjut, Bagir menjelaskan contoh “kurangnya kehati-hatian” hakim ini
adalah dengan menghadiri acara diskusi atau debat di televisi yang
berbicara kasus, seperti Indonesia Lawyers Club (ILC). “Dari dulu tidak
boleh itu. Apalagi isu-isu (yang dibahas,-red) sedang berproses di
pengadilan atau berpotensi menjadi perkara yang ditangani hakim,”
tuturnya.
“Mestinya kita menjauh. Ini malah ada (hakim,-red) yang bercerita macam-macam. Memang tidak banyak, tapi itu pernah terjadi. Kekurang hati-hatian bisa menimbulkan image tak bagus bagi lembaga peradilan,” tambahnya.
“Mestinya kita menjauh. Ini malah ada (hakim,-red) yang bercerita macam-macam. Memang tidak banyak, tapi itu pernah terjadi. Kekurang hati-hatian bisa menimbulkan image tak bagus bagi lembaga peradilan,” tambahnya.
Spoiler for Kelima:
Kelima,
lack of future orientation (kurangnya orientasi masa depan). Bagir
menjelaskan seorang hakim yang memutus seharusnya sudah memaparkan
putusannya akan berdampak apa ke depannya. Ia juga mengatakan orang
sering menyalahgunakan arti “judicial activism” yang dianggap bahwa
hakim harus menemukan suatu hal yang baru.
“Esensi judicial activism nggak harus baru, tapi hakim harus memperhatikan dampak dari putusannya itu,” jelas Bagir.
“Esensi judicial activism nggak harus baru, tapi hakim harus memperhatikan dampak dari putusannya itu,” jelas Bagir.
Spoiler for Keenam:
Keenam,
lack of political carefulness or awareness (kurangnya kesadaran
politik). Ia menuturkan bahwa pengadilan saat ini sangat diperhatikan
publik. Bagir mengutip pernyataan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki
yang menuturkan bahwa masalah yang dihadapi peradilan adalah
kepercayaan publik yang rendah.
“Ini kita akui saja. Kita dalam sorotan publik,” ujarnya.
“Ini kita akui saja. Kita dalam sorotan publik,” ujarnya.
Spoiler for Ketujuh:
Ketujuh,
kelemahan yang dialami peradilan Indonesia adalah lack of scientific
sense (kurangnya kesadaran ilmiah). Bagir mengambil contoh putusan
peninjauan kembali (PK) Sudjiono Timan. “Saya mohon maaf bila ada
anggota majelisnya. Ini bukan karena kasasinya saya yang putus. Ketka
kita pertimbangkan secara prosedur, itu bisa diterima, tetapi ini
persoalan ilmiah yang sangat mendasar,” ujarnya.
Bagir menjelaskan bahwa permohonan PK yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan dikabulkan oleh majelis. Padahal, Sudjiono berstatus buron. Majelis menilai istri Sudjiono berhak mengajukan PK karena sebagai ahli warisnya. “Secara ilmiah, asas hukum kewarisan kalau ada yang meninggal. Tanpa itu, hak waris tidak ada, apalagi kuasa waris,” kritiknya.
“Itu sangat mendasar dari zaman Romawi hingga sekarang. Apalagi yang diwakili adalah orang yang lari dari putusan hakim. Ini butuh scientific orientation,” ujarnya.
Bagir menjelaskan bahwa permohonan PK yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan dikabulkan oleh majelis. Padahal, Sudjiono berstatus buron. Majelis menilai istri Sudjiono berhak mengajukan PK karena sebagai ahli warisnya. “Secara ilmiah, asas hukum kewarisan kalau ada yang meninggal. Tanpa itu, hak waris tidak ada, apalagi kuasa waris,” kritiknya.
“Itu sangat mendasar dari zaman Romawi hingga sekarang. Apalagi yang diwakili adalah orang yang lari dari putusan hakim. Ini butuh scientific orientation,” ujarnya.
Spoiler for Kedelapan:
Kedelapan,
lack of puritanism (kurangnya puritanisme). Bagir menuturkan bahwa
setiap hakim harus berpikir bahwa dirinya adalah manusia yang legal
minded. Setiap pikiran dan badannya harus berkaitan dengan hukum.
“Selain itu, harus lugas atau istilah Belandanya saklek, tapi tak mesti
kasar. Dan harus rasional, menempatkan rasio di depan,” tambahnya.
Selanjutnya, jelas Bagir, sifat puritanisme harus disikapi hakim dengan berpikir impersonal. Hakim harus memiliki jarak dengan objek yang diadilinya, karena itu di dunia peradilan dikenal doktrin konflik kepentingan. “Terakhir, puritanism harus menampakan kesederhanaan,” ujarnya.
Selanjutnya, jelas Bagir, sifat puritanisme harus disikapi hakim dengan berpikir impersonal. Hakim harus memiliki jarak dengan objek yang diadilinya, karena itu di dunia peradilan dikenal doktrin konflik kepentingan. “Terakhir, puritanism harus menampakan kesederhanaan,” ujarnya.
Spoiler for Kesembilan:
Kesembilan,
lack of sense of justice (kurangnya rasa keadilan). Bagir mengatakan
para hakim kerap lemah mempertimbangkan rasa keadilan yang ada dalam
dirinya itu. “Kita ada penyakit rutinitas. Oo perkara begitu, ya begini
saja (seperti biasa,-red). Setiap perkara yang datang ke hakim
seharusnya dianggap sebagai suatu yang baru. Tidak ada perkara yang
sama,” tukasnya.
Spoiler for Kesepuluh:
Kesepuluh,
meski peradilan sudah hebat bisa mengatur anggarannya sendiri, lanjut
Bagir, masih ada lack of facilities (kurangnya fasilitas). Ia kembali
mengutip cerita Ketua KY Suparman Marzuki yang mengatakan ada hakim yang
memutus berdasarkan aturan yang sudah lama dicabut.
“Kami periksa pak, ternyata tempat itu jauh sekali. Informasi terbatas. Internet tak ada. Buku-buku tak ada. Kami tak bisa apa-apa. Itu sekarang masih terjadi,” ujarnya menirukan cerita Suparman.
“Kami periksa pak, ternyata tempat itu jauh sekali. Informasi terbatas. Internet tak ada. Buku-buku tak ada. Kami tak bisa apa-apa. Itu sekarang masih terjadi,” ujarnya menirukan cerita Suparman.
Lalu, apa solusi yang ditawarkan Bagir untuk mengatasi problem-problem ini, gan?
Spoiler for Solusi Bagir Manan:
Bagir
mengatakan dirinya selalu melakukan pendekatan (empowering process)
dalam melakukan perbaikan. “Pemberdayaan. Jadi, bukan buat aturan baru
atau ciptakan lembaga baru. Itu pendekatan saya,” pungkasnya.
http://www.kaskus.co.id/thread/538319630d8b46b1778b466b/?ref=homelanding&med=hot_thread| digali.blogspot.com