Selama ini untuk membeli mesin roasting tergolong relatif masih mahal untuk ekonomi masyarakat petani di dataran tinggi Gayo. Untuk mesin roasting 3 kg harus merogoh kocek mencapai Rp 150 juta per unitnya, sehingga harga roasting harus dibayar Rp 30 ribu per kg oleh petani kopi.
Atas dasar itulah, pria paruh baya ini yang hanya tamatan Sekolah Dasar (SD), Ramli Ismail (46) berhasil merakit sebuah mesin roasting kopi dengan kualitas lebih bagus dari yang sudah pernah ada. Dia bisa membuat mesin itu mengontrol roasting kopi sesuai dengan selera pelanggan.
"Saya ini buat sendiri, saya segala sesuatu mencoba dan berhasil, kualitasnya lebih bagus mesin saya ini, karena bisa dikontrol mau keasaman kopi bagaimana," kata perakit mesin roasting kopi, Ramli Ismail kepada merdeka.com, Selasa (7/1).
Lokasi mesin roasting hasil karya masyarakat pribumi dataran tinggi Gayo itu berada di desa Meukar Ayu, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Saat merdeka.com datang, dia sedang me-roasting kopi pesanan pelanggannya.
Menurut Ramli Ismail yang akrab disapa Wakli, mesin yang ia rakit dengan kapasitas 2,5 kg dengan durasi waktu roasting selama 15 menit hanya menghabiskan dana Rp 15 juta. Sehingga ia bisa meroasting kopi warga dengan mengambil ongkos jauh lebih murah yaitu Rp 10 ribu/ kg.
"Dengan mesin ini saya bisa subsidi masyarakat roasting kopi murah. Bahkan kalau ada yang roasting dalam jumlah banyak, saya berani ambil harga Rp 7000/ kg, tentu ini sangat membantu petani kopi," tegasnya.
Wakli bahkan berani klaim bahwa mesin ini baru pertama yang berhasil dirakit oleh pribumi di Sumatera ini. Sekarang, Wakli juga sedang kembali merakit mesin roasting yang lebih besar kapasitasnya.
Memang di lokasi ia me-roasting kopi, terlihat ada mesin roasting yang sedang dia rakit. Wakli mengatakan, mesin yang sedang dia rakit itu memiliki kapasitas yang jauh lebih banyak, yaitu untuk 10 kg dengan durasi 15 menit.
"Selama ini harga roasting itu lebih mahal dari harga kopi, itu kan aneh, masak harga biji kopinya Rp 25 ribu/ kg, roasting Rp 30 ribu, makanya saya buat mesin yang lebih ekonomis," tambahnya.
Wakli juga merupakan korban konflik yang tetap menegakkan kepala tanpa meratapi nasipnya. Ia bangkit merakit mesin roasting tanpa ada bantuan pihak manapun, termasuk pihak pemerintah yang semestinya patut memberikan apresiasi atas karya anak negeri.
"Saya korban konflik dan tidak pertama ada perhatian dari pemerintah, semestinya ini harus ada perhatian pemerintah, karena mesin roasting buatan putra daerah," imbuhnya.
Kendatipun demikian, Wakli belum ada keinginan untuk menjual hasil rakitannya. Akan tetapi yang ia inginkan mesin itu hanya digunakan untuk dirinya sendiri. "Meskipun kedepan rencana bukan menjual, tapi saya pinjam pakaikan untuk seluruh Aceh," tutupnya.
[tts]