Morsi supporters in Egypt pledge to die rather than disband protest
(Tulisan ini dimuat surat kabar Inggris, The Guardian, sebelum pembantaian oleh aparat keamanan hari Rabu, 14 Agustus 2013)
Para demonstran yang berada di kompleks Masjid Rabba al-Adawiya sudah
kenyang dengan ancaman pembubaran paksa dari aparat keamanan. Ancaman
ini sudah muncul sejak dua pekan silam bahwa aparat akan menggunakan
kekerasan untuk membubarkan aksi massa.
Namun ancaman ini tidak mengurungkan niat Aza Galal, seorang ibu rumah
tangga, untuk bergabung bersama demonstran lain di Rabaa al-Adawiya. Ia
beraksi bersama anaknya yang baru berusia enam tahun.
“Saya tak takut mati,” kata Galal. “Kami percaya bahwa suatu saat
kematian pasti datang. Pertanyaannya adalah, apakah Anda mati sebagai
syuhada atau mati sebagai pengecut? Intinya adalah, kami ingin mati
syahid di sini.”
Konsentrasi massa pendukung Mohammed Morsi –presiden Mesir yang
digulingkan militer pada 3 Juli- berada di dua titik. Satu di Rabaa dan
satu lagi di dekat universitas. Mereka mendesak supaya Morsi ditetapkan
kembali sebagai presiden Mesir yang sah.
Waktu berlalu dan militer tak mengindahkan tuntutan mereka. Bahkan para
pejabat mengancam akan membubarkan massa, kalau perlu dengan paksaan dan
dengan cara-cara kekerasan. Ancaman makin kuat, namun massa juga makin
besar dan kian rapi. Rabaa misalnya nyaris seperti kota tenda.
Pada hari Senin, ketika rumor pemberangusan oleh aparat makin kencang,
massa pendukung Morsi bergeming. Mereka tak beranjak dari Rabaa.
“Saat saya mendengar bahwa aparat akan menyerang (Rabaa), saya berlari
ke sana,” kata Moaz Ahmed, yang sehari-hari berprofesi sebagai guru.
“Saya tak takut mati.”
Ahmed sama sekali tak bersenjata. Ia hanya mengenakan helm berwarna biru
dan celana olahraga berlogo Manchester United. Ada kecurigaan tersimpan
senjata di Rabaa. Namun para pemimpin demonstran mengatakan, kalau pun
ada yang terluka, para korban adalah penyusup dari aparat keamanan yang
mencoba memasuki pusat massa pendukung Morsi. “Kalau kami menangkap
pencuri, biasanya ia kami pukul dan setelah itu kami lepas,” kata Gehad
al-Haddad, juru bicara Ikhwanul Muslimin.
Orang luar mungkin tak bisa memahami alasan para pendukung Ikhwanul
Muslimin yang menggelar aksi. Orang luar mungkin tak paham mengapa
mereka lebih memilih mati daripada berkompromi.
Tapi para demonstran mengatakan dampak lanjutan bagi Mesir akan lebih
parah bila mereka menerima kompromi dan mengakhiri aksi. Posisi mereka
hanya satu: aksi akan diakhiri bila kursi presiden diserahkan kembali
kepada Morsi.
“Kalau kami hentikan demonstrasi, Mesir akan kembali ke era 1990-an,”
ujar Suzanne Abdel Qadir, mengacu pada era pemberangusan kelompok Islam
oleh Hosni Mubarak.
“Kami akan melihat kembali era penindasan yang dijalankan Mubarak. Kalau kami pulang, berarti perjuangan akan mati.”
Aza Galal mengatakan siap berada di Rabaa selamanya. “Saya siap sampai
presiden kami kembali. Kami semua mendukung demokrasi. Tapi hanya
gara-gara orang-orang berkumpul di Lapangan Tahrir, suara kami lantas
dimasukkan ke tong sampah.”
*terjemah by admin @PKSInggris dari http://www.theguardian.com/world/2013/aug/12/egypt-cairo-mohamed-morsi-camps